Afirmasi.news – Malang, – Di balik senyum bahagia dan toga yang dikenakannya saat wisuda, tersimpan kisah perjuangan luar biasa dari Anisa Ndula Awang, atau yang akrab disapa Ambu. Perempuan berusia 25 tahun asal Desa Tanarara, Sumba Timur, ini membuktikan bahwa dengan tekad dan kerja keras, mimpi bisa diraih meski dengan modal yang terbatas.
Ambu memulai perjalanannya dari Sumba menuju Jawa dengan tujuan bekerja. Saat itu, ia hanya membawa uang tiket yang dibayarkan oleh orang lain, dan uang 2000 rupiah di dompetnya. “Saya datang ke Surabaya hanya dengan modal itu. Seminggu setelah tiba, baru dapat kerja,” kenang Ambu. Selama enam bulan bekerja, ia mendapatkan brosur tentang program kuliah sambil kerja. Setelah mempertimbangkan, Ambu memutuskan untuk mendaftar dan melanjutkan pendidikannya di Malang.
Setahun di Surabaya, Ambu memutuskan pindah ke Malang untuk melanjutkan kuliah. Di sana, ia nekat mencari kerja part-time sambil menyelesaikan tugas kuliah. “Waktu saya habis untuk kerja dan kuliah. Sesekali ke kampus karena kuliah online. Tapi, semua terasa lebih enak saat menggunakan uang sendiri,” ujarnya, saat dihubungi oleh Ikzed, jurnalis di media ini.
Meski mendapat bantuan dari keluarga dan kerabat, Ambu lebih memilih mandiri. Namun, ia tidak menyangkal peran besar “bapa dan mama Malang”, sepasang dosen yang menganggapnya seperti anak sendiri. Mereka membantu membayar uang kuliah dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di semester ketiga, Ambu harus menghadapi cobaan berat saat ayahnya meninggal dunia. Ia pulang ke Sumba untuk menghadiri pemakaman dan sempat ragu untuk kembali ke Malang. Namun, dorongan dari kakaknya membuatnya tetap melanjutkan kuliah. “Saya harus lebih semangat lagi. Kerja dobel, bantu di prodi, dan ngajar di beberapa bimbel,” kenangnya.
Momen wisuda yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan justru diwarnai dengan cobaan berat. Ambu harus menghadapi putusnya hubungan dengan pacarnya dan kekurangan biaya wisuda. “Saya hampir menyerah. Tapi, bapa Malang tiba-tiba menghubungi dan membayarkan uang wisuda saya. Saya tidak bisa menahan air mata saat itu,” ungkapnya dengan haru. Meski wisudanya berjalan lancar, Ambu masih merasa sedih karena tidak ada keluarga dari Sumba yang bisa hadir. “Saya sampai batal make up di salon dan foto studio karena kesal,” ceritanya. Namun, dengan tekad kuat, Ambu memutuskan untuk merias diri sendiri dan menghadiri wisuda dengan penuh kebanggaan.
Ambu mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada bapa dan mama Malang yang telah menjadi keluarga kedua baginya. “Mereka selalu ada saat saya susah dan senang. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan mereka,” ujarnya. Ambu juga berterima kasih kepada Tuhan Yesus yang menurutnya selalu menyertai perjalanannya.
Kisah Ambu menjadi bukti bahwa dengan tekad, kerja keras, dan dukungan dari orang-orang baik, tidak ada yang tidak mungkin. Perjuangannya menginspirasi banyak orang untuk tidak pernah menyerah dalam meraih mimpi, meski dengan modal yang terbatas. “Semua ini bukan karena hebatnya saya, tapi karena penyertaan Tuhan Yesus yang luar biasa,” tutup Ambu dengan penuh syukur.